Kamis, 16 September 2010

kultur jaringan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Tumbuhan merupakan salah satu bahan alam sebagai sumber senyawa kimia penting, digunakan sebagai bahan obat maupun sebagai bahan bioaktif lainnya (Adnan, 1988). Banyak tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat secara tradisional untuk mengatasi berbagai macam penyakit (Huang, 1984). Salah satu tumbuhan yang digunakan sebagai bahan obat adalah tumbuhan sernai (Wedelia biflora (L.) DC.) yang digunakan sebagai obat antimalaria. Tumbuhan ini telah lama digunakan sebagai obat untuk mengatasi demam (antipiretik) dan gonorrhoea. Sifat antipiretik inilah yang dapat membantu penderita malaria untuk melawan penyakitnya (Sastrapradja dan Nagai, 1986; Heyne, 1987; Dzulkarnain, 2004). Ekstrak kasar tumbuhan ini juga digunakan untuk antibakteri, antijamur, antifedan dan antiradang akibat reaksi alergi (Miles, 1990; Wahyuni, 1999; Razali, 2001; Rinidar, 2005).
Kultur jaringan sel tanaman secara in vitro merupakan salah satu cara untuk memproduksi hasil metabolit sekunder, yaitu senyawa yang berkhasiat obat yang dapat menghasilkan senyawa setiap waktu pada kondisi lingkungan yang dapat diatur. Melalui kultur jaringan juga dimungkinkan pula mengatur proses metabolismenya untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya (Sandra, 2000). Keberhasilan dalam teknik kultur jaringan termasuk kultur kalus antara lain dipengaruhi oleh komposisi media dan konsentrasi zat pengatur tumbuh (Katuuk, 1989; Gunawan, 1995). Menurut Zahara (2007) kombinasi zat pengatur tumbuh Naftalene Acetic Acid (NAA) dan Benzil Amino Purine (BAP) pada kultur jaringan pucuk tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) mampu memicu pembentukan kalus. Berdasarkan permasalahan tersebut maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi zat pengatur tumbuh Naphtalene Acetic Acid (NAA) dan Benzyl Aminopurine (BAP) dalam memicu pertumbuhan kalus tumbuhan sernai. Dengan adanya penelitian lanjutan maka akan dapat diketahui kandungan senyawa metabolit sekunder dalam kalus batang dan kalus daun Wedelia biflora hasil dari kultur jaringan.

1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi zat pengatur tumbuh Naphtalene Acetic Acid (NAA) dan Benzyl Aminopurine (BAP) pada pertumbuhan kalus tumbuhan Sernai (Wedelia biflora (L.) DC.).

1.3 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi cara perbanyakan tumbuhan sernai melalui kultur jaringan khususnya menyangkut kombinasi zat pengatur tumbuh NAA dan BAP.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Sernai
Sernai merupakan tumbuhan yang biasa ditemukan pada daerah pantai, sepanjang aliran pasang surut, batas hutan bakau, dan dapat membentuk belukar. Tumbuhan ini juga dapat ditemukan di hutan sekunder, kebun yang ditinggalkan, perkebunan kelapa dan sawah yang belum ditanami. Penyebarannya mulai dari Afrika tropis ke arah timur ke India dan Indo-Cina sampai Jepang, dan ke arah selatan dari Malaysia ke Australia tropis dan Polinesia Barat (Kristio, 2007).
2.1.1 Morfologi Tumbuhan Sernai
Tumbuhan sernai merupakan terna atau liana. Batang tumbuhan ini berbentuk silindris dan termasuk batang basah (herbaceous), mempunyai panjang 1 – 3 m. Posisi batangnya merayap di atas permukaan tanah, pada setiap ruas batangnya dapat tumbuh akar (Kristio, 2007). Batang dari tumbuhan ini juga memiliki kulit seperti perdu berserat, di bawah kulit batang terdapat lapisan kulit berkayu dan dalam kayu itu ada empulur yang kering dan berwarna putih. Tumbuhan ini termasuk dalam tumbuhan dikotil sehingga sistem perakarannya adalah tunggang. Salah satu keunikan dari tumbuhan ini ialah akar dapat tumbuh pada ruas-ruas batangnya dan tumbuh dengan merayap di atas permukaan tanah (Heyne, 1987).
Tumbuhan ini termasuk tumbuhan yang berdaun tidak lengkap, sebab hanya memiliki tangkai daun dan helaian daun saja, tidak memiliki pelepah/upih daun. Daunnya berwarna hijau cerah mengkilap, sedikit atau banyak memiliki rambut daun, tunggal, kadang-kadang terbagi sangat dalam hingga menyerupai daun majemuk, duduk daun berhadapan, jarang tersebar, kebanyakan tanpa daun penumpu, panjang 1,5 – 6 cm. Tumbuhan ini memiliki daging daun yang tipis dan lunak, dengan tepi daun yang bergerigi (serratus). Dilihat dari toreh pada tepi daun dan susunan tulang-tulang daunnya, tumbuhan ini dapat dikategorikan tumbuhan dengan daun berlekuk menyirip (pinnatilobus). Bangun daunnya bulat telur sungsang (obovatus), namun beberapa jenis ada yang berbentuk oval (ovatus), dengan ujung daunnya runcing (acutus) (Tjitrosoepomo, 1989; Pujowati dan Penny, 2006; Kristio, 2007).
Bunganya berwarna kuning cerah, mirip seperti bunga matahari (Sunarno, 1992; Kristio, 2007; Anonimous, 2007). Bunganya tergolong dalam bunga majemuk dengan bentuk cawan (anthodium) dan memiliki banyak simetri (actinomorf). Mahkota bunga berjumlah 5 – 8, berkelamin tunggal atau banci, memiliki tabung yang pendek, pita memanjang, ujung mahkota melekuk ke dalam. Letak bunga di ujung tangkai, bentuk mahkota bunga tidak saling berlekatan (polypetalus). Tangkai putik dengan dua cabang bentuk benang dan panjang. Panjang ibu tangkai bunganya (pedunculus) 3 – 10 cm (Tjitrosoepomo, 1989; Pujowati dan Penny, 2006; Kristio, 2007).
2.1.2 Taksonomi Tumbuhan Sernai
Tumbuhan sernai termasuk ke dalam familia Asteraceae. Di Indonesia terdapat berbagai jenis tanaman Wedelia, antara lain Wedelia trilobata, Wedelia montana, Wedelia calendulacea Less., Wedelia chinensis (Osbeck) Merr., dan Wedelia biflora (L.) DC. (Tjitrosoepomo, 1989; Pujowati dan Penny, 2006; Kristio, 2007; Anonimous, 2007).
Menurut Tjitrosoepomo (1989) tumbuhan Sernai dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Suku : Asterales
Familia : Asteraceae (Compositae)
Marga : Wedelia
Spesies : Wedelia biflora (L.) DC.

2.2 Teknik Kultur Jaringan Tanaman
Teknik kultur jaringan tanaman merupakan metoda untuk mengisolasi bagian tanaman seperti protoplas, sel, jaringan atau organ dan menumbuhkannya dalam media buatan aseptik yang mengandung nutrisi dan zat pengatur tumbuh (ZPT). Bagian-bagian tanaman tersebut di dalam media dapat memperbanyak diri dan dapat beregenerasi kembali menjadi tanaman yang lengkap. Kultur jaringan menggunakan dasar teori yang dikemukakan oleh Schleiden dan Schwann. Menurut kedua ahli tersebut, sel mempunyai kemampuan otonom (mampu tumbuh mandiri), bahkan mempunyai kemampuan totipotensi. Totipotensi adalah kemampuan setiap sel, dari bagian tanaman manapun sel tersebut diambil, yang apabila diletakkan dalam lingkungan yang sesuai akan tumbuh menjadi tanaman yang sempurna (Nugroho dan Sugito, 2005).
Sel yang berasal dari spesies tanaman apapun dapat dibiakkan atau dikulturkan secara aseptik dalam media buatan, baik dalam media padat atau media cair. Kultur jaringan biasanya dimulai dengan menanamkan satu iris jaringan steril pada media buatan yang dapat berupa padat ataupun cair, dalam waktu 2 – 3 minggu akan dapat terbentuk kalus (Whetter dan Constabel, 1991). Kalus adalah jaringan yang terdiri dari sejumlah sel yang tidak terorganisasi, merupakan bentuk awal calon tunas yang kemudian mengalami proses pelengkapan bagian tanaman seperti daun, batang dan akar. Dalam kultur jaringan, kalus terbentuk karena luka/irisan eksplan sebagai respon terhadap auksin dan sitokinin yang tinggi (Katuuk, 1989; Nugroho dan Sugito, 2005). Hasil perbanyakan tanaman secara kultur jaringan pada prinsipnya jauh lebih unggul dibandingkan dengan perbanyakan secara konvensional, karena tanaman hasil kultur dipastikan mempunyai sifat yang sama dengan induknya (Nugroho dan Sugito, 2005).
Selain mendapat turunan yang sama serta waktu yang relatif cepat, masih banyak keunggulan yang bisa didapatkan dari pembiakan vegetatif melalui kultur jaringan, seperti konsep Hussey dan Fossard yang dituliskan oleh Katuuk (1989) seperti berikut:
a. Mampu memperbanyak dengan cepat kultivar hibrida baru yang berasal dari satu sel untuk kegunaan komersil.
b. Mampu menciptakan tanaman baru bebas dari penyakit yang disebabkan oleh virus.
c. Mampu memperbanyak tanaman yang sukar diperbanyak dengan memakai biji (seksual).
d. Mampu memperoleh tanaman induk yang sama sifat genetiknya dalam jumlah yang banyak.
e. Mampu menghasilkan tanaman baru sepanjang tahun.

2.3 Media Kultur
Keberhasilan dalam penggunaan metode in vitro terutama disebabkan pengetahuan tentang kebutuhan hara sel dan jaringan yang dikultur (Whetter dan Constabel, 1991). Faktor penentu di dalam media tumbuh adalah komposisi garam anorganik, ZPT dan bentuk fisik media (Gunawan, 1995). Banyak jenis media yang digunakan untuk kultur kalus, namun yang paling banyak digunakan adalah media Murashige dan Skoog (MS). Kandungan garam-garam dalam media MS tersebut antara lain hara nitrogen serta terdapat gula dan vitamin (Katuuk, 1989).
Berdasarkan tipe fisiknya media terbagi 3 yaitu media padat, media semi cair dan media cair (Katuuk 1989).
2.3.1 Media padat
Media padat adalah media yang dipadatkan dengan menambahkan agar-agar sehingga eksplan tidak mudah berpindah tempat. Media padat memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan media padat yaitu perkembangan eksplan mudah diamati terutama yang berukuran kecil, tidak semua bagian eksplan terbenam dalam media sehingga memungkinkan sirkulasi udara eksplan dan jika terjadi kontaminasi, eksplan yang tidak terkontaminasi dapat diselamatkan.
Kekurangan media padat yaitu hanya bagian permukaan eksplan yang mengalami aerasi dengan baik, hubungan antara media dan eksplan terbatas yaitu hanya pada bagian yang tersentuh media, sehingga perkembangannya tidak seimbang.
2.3.2 Media semi cair
Media semi cair adalah media cair yang ditambahkan bahan pemadat berupa agar jumlahnya setengah atau sepertiga dari jumlah bahan agar untuk media padat. Ada juga media semi cair tanpa menggunakan agar melainkan bahan lain berupa filter polyethylene atau kain yang mudah menyerap air, sehingga dapat mengantarkan zat hara dari media ke eksplan. Media ini jarang digunakan karena sulit dalam pengaturan letak eksplan dan mengamati perkembangannya.
2.3.3 Media cair
Media cair adalah media yang tidak menggunakan agar-agar. Penggunaan media ini dibantu dengan menggunakan alat agitasi yang dinamakan shaker. Media ini digunakan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan pada media padat. Agitasi bertujuan untuk menciptakan pertukaran gas dan supaya eksplan tidak tenggelam. Agitasi memungkinkan seluruh permukaan eksplan menerima suplai zat hara dari media semaksimal mungkin (Katuuk, 1989).



2.4 Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah hormon tumbuhan sintetis yang dapat memacu pertumbuhan sel-sel atau jaringan tertentu dari sel-sel kalus yang belum terdiferensiasi (Rahardja, 1995). Zat pengatur tumbuh berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kultur. Faktor penting dalam penggunaan ZPT antara lain: jenis, konsentrasi dan urutan penggunaan ZPT serta lama waktu induksi tanaman pada media yang mengandung ZPT (Gunawan, 1995). Menurut (Katuuk, 1989), ada beberapa jenis ZPT yaitu; auksin, giberelin, sitokinin dan adenin, namun yang paling sering digunakan adalah auksin dan sitokinin.
2.4.1 Auksin.
Auksin adalah hormon tumbuhan yang diproduksi secara alamiah dalam tubuh tumbuhan, kini jenis hormon tumbuhan ini dapat dibuat secara sintetis. Menurut Katuuk (1989), fungsi auksin dalam media yaitu merangsang pertumbuhan kalus, pembesaran sel, pertumbuhan akar dan mengatur morfogenesis tanaman.
Penggunaan auksin tergantung pada jenis pertumbuhan yang diinginkan, jumlah auksin endogen dalam eskplan, kemampuan eksplan untuk membentuk auksin alamiah dan interaksi antara auksin eksogen dengan auksin endogen (Katuuk, 1989). Ada beberapa jenis auksin sintetis antara lain IAA (Indole acetic acid), NAA (Naphtalene acetic acid), 2,4-D (2,4 dichlorophenoxy acetic acid) dan IBA (Indole butyric acid). Penambahan NAA pada media kultur terbukti mampu menginduksi kalus pada tumbuhan Gramineae, Solanaceae dan banyak tumbuhan lainnya. Menurut Gunawan (1995), konsentrasi NAA yang umum digunakan untuk terbentuknya kalus adalah 0,01 – 10 mg/L.
2.4.2 Sitokinin.
Sitokinin adalah zat pengatur tumbuh yang sering disebut kinin. Fungsi sitokinin yaitu mengatur pertumbuhan melalui pembelahan sel, membantu mengawasi perkecambahan biji, mengatur transpor auksin dan membantu menunda senescens (penuaan) dengan cara menghalangi penguraian klorofil, protein dan asam inti yang ada dalam daun. Dalam kultur jaringan, sitokinin berfungsi untuk mengatur pertumbuhan serta morfogenesis. Kini dikenal beberapa macam sitokinin sintetis antara lain kinetin, BAP/BA, Zeatin dan Thidiazuron (Katuuk, 1989; Gunawan, 1995).
Golongan sitokinin aktif adalah BAP (Benzyl Aminopurine) dan Thidiazuron. Secara umum konsentrasi sitokinin yang digunakan untuk terbentuknya kalus berkisar antara 0,1 – 10 mg/L (Katuuk, 1989).







BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi sel dan Molekuler Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala, dari bulan Juni 2008 sampai Juni 2009

3.2 Sampel.
Eksplan yang digunakan untuk penelitian ini adalah bagian akar, batang dan pucuk daun tumbuhan sernai (Wedelia biflora (L.) DC.) yang diambil dari sekitar kampus Unsyiah di Banda Aceh.

3.3 Alat dan Bahan Penelitian
3.3.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah laminar air flow cabinet, autoclave, lemari pendingin, timbangan analitik, lampu spiritus, pinset, skalpel, spatula, pH meter, corong, pipet tetes, labu Erlenmeyer 500 mL, gelas ukur 5 mL, 10 mL, 100 mL dan 500 mL, batang pengaduk, botol kultur, botol alkohol, sprayer, masker dan alat-alat lainnya.
3.3.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70% dan 95%, Clorox, deterjen, zat pengatur tumbuh (NAA dan BAP), aluminium foil, dan media Murashige dan Skoog (MS) yang dikembangkan pada tahun 1962, dengan komposisi seperti tertera pada Lampiran 1.

3.4 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok Subsampling yang terdiri dari 9 kombinasi perlakuan dengan 3 blok dan 3 subsampling. Masing-masing perlakuan dengan kombinasi NAA (1,0 mg/L, 1,5 mg/L, dan 2,0 mg/L) dan BAP (0,5 mg/L, 1,0 mg/L, dan 1,5 mg/L).

3.5 Cara Kerja
3.5.1 Sterilisasi Alat dan Bahan
Alat-alat yang tahan panas disterilkan menggunakan autoclave pada suhu 121oC selama 30 menit, dan yang tidak tahan panas disterilkan dengan menggunakan alkohol 70%. Bahan-bahan yang digunakan seperti akuades dan media Murashige dan Skoog (MS) disterilkan dengan menggunakan autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit.
3.5.2 Pembuatan Media
1. Pembuatan larutan stok hara
Stok hara terdiri dari stok hara makro yaitu stok A, B, C, D, E, F dan stok hara mikro yaitu stok G (Lampiran 1). Larutan stok hara 1 L dibuat dengan cara menimbang setiap garam mineral sesuai dengan jumlah yang terdapat pada Lampiran 1. Masing-masing bahan dilarutkan ke dalam 100 mL akuades steril yang telah diisikan ke dalam wadah yang disediakan. Stok yang komposisinya lebih dari 1 jenis garam mineral seperti stok F dan G dilarutkan secara terpisah dengan akuades steril, kemudian dicampur dalam satu wadah. Setelah bahan kimia larut dan tercampur sempurna volume ditepatkan hingga 1 liter dengan menambah akuades steril.
Khusus untuk larutan stok F, setelah Na2EDTA dimasukkan ke dalam 200 mL akuades steril, kemudian dipanaskan pada suhu 40 – 60oC hingga larut dan setelah dingin ditambahkan FeSO4.7H2O yang telah dilarutkan dengan akuades steril. Setelah kedua bahan dicampurkan volume ditepatkan hingga 1 liter dengan menambah akuades steril, kemudian wadah larutan stok F ditutup dengan alumunium foil. Semua stok disimpan dalam lemari pendingin.
2. Pembuatan larutan stok vitamin
Bahan yang telah ditimbang sesuai dengan jenis dan jumlah yang terdapat pada Lampiran 1 (stok H, I dan J) dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 100 mL yang telah berisi 25 mL akuades steril.
3. Pembuatan larutan stok Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
a. Pembuatan larutan stok auksin
Ditimbang 100 mg auksin, dilarutkan ke dalam 70 mL akuades steril, diaduk sambil ditetesi larutan KOH 1 N setetes demi setetes hingga bahan larut sempurna dan ditepatkan volumenya hingga 100 mL dengan menambah akuades steril, disimpan dalam lemari pendingin.
b. Pembuatan larutan stok sitokinin
Ditimbang 100 mg sitokinin, dilarutkan ke dalam 70 mL akuades, diaduk sambil ditetesi HCl 1 N setetes demi setetes hingga bahan larut sempurna dan ditepatkan volumenya hingga 100 mL dengan menambah akuades steril, disimpan dalam lemari pendingin.
4. Pembuatan dan sterilisasi media
Setelah semua larutan stok dimasukkan, ditambahkan 8 g agar-agar dan 30 g gula, diukur pH sebesar 5,6 sebelum disterilkan, untuk mendapatkan pH yang sesuai ditambahkan KOH 1 N atau HCl 1 N, media dipanaskan dan dituang ke dalam botol-botol kultur setinggi 1,5 – 2 cm, botol ditutup rapat dengan aluminium foil. Media disterilkan dalam autoclave pada suhu 121°C selama 15 menit. Media yang telah steril disimpan selama 3 hari, bila tidak terkontaminasi maka media dapat digunakan.
3.5.3 Sterilisasi eksplan
Akar, batang dan pucuk tumbuhan sernai yang digunakan sebagai eksplan disterilkan dengan menggunakan detergen selama 5 menit dan dicuci 3 kali dengan akuades steril. Kemudian direndam dalam alkohol selama 3 menit, dan dicuci 3 kali dengan akuades steril. Selanjutnya direndam selama 5 menit ke dalam larutan clorox 50% dan dicuci sebanyak 3 kali dengan akuades steril.
3.5.4 Penanaman eksplan
Eksplan yang sudah disterilkan, selanjutnya ditanam pada botol berisi media MS secara aseptik dengan bantuan pinset (1 eksplan dalam satu botol). Botol berisi eksplan kemudian disimpan dalam ruang inkubasi pada suhu 25°C dengan pencahayaan lampu TL selama 24 jam.

3.6 Parameter yang Diamati
1. Waktu pembengkakan eksplan setelah hari tanam.
2. Waktu muncul kalus setelah hari tanam.
3. Berat basah akhir kalus yang dihitung dalam gram.


3.7 Analisa Data
Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan Analisis Varian (ANAVA) dan dilakukan uji lanjut melalui BNT.
















BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Waktu Pembengkakan Eksplan
Auksin dan sitokinin merupakan jenis hormon yang dapat menyebabkan terjadinya pembengkakan pada jaringan eksplan. Analisis sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa kombinasi zat pengatur tumbuh Naphtalene Acetic Acid (NAA) dan Benzyl Aminopurine (BAP) berpengaruh tidak nyata terhadap waktu pembengkakan (pembesaran sel) eksplan. Berdasarkan bagian eksplan yang digunakan menunjukkan adanya pengaruh nyata terhadap waktu pembengkakan (pembesaran sel) eksplan (P < 0,01).
Setiap eksplan yang tumbuh memiliki waktu yang berbeda untuk mengalami pembengkakan sel. Waktu pembengkakan eksplan akar dan batang berbeda dengan eksplan daun. Eksplan dari bagian daun membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengalami pembengkakan sel. Rata-rata waktu pembengkakan eksplan pada tiap blok dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Rata-rata waktu pembengkakan eksplan setelah diinkubasi pada media yang diperkaya dengan ZPT berdasarkan bagian eksplan yang digunakan
No Blok Waktu Pembengkakan (hst)
1 Akar 7,33a ± 1,04
2 Batang 6,81a ± 0,62
3 Daun 11,04b ± 1,19
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan sangat nyata pada uji BNT taraf 1%, hst = hari setelah tanam.

Waktu pembengkakan eksplan akar dan batang berbeda sangat nyata dengan waktu pembengkakan eksplan daun. Rata-rata waktu pembengkakan eksplan akar dan batang yaitu 6,81 – 7,33 hari setelah tanam (hst), dan rata-rata waktu pembengkakan eksplan daun yaitu 11,04 hst.
Tabel 4.2 Rata-rata waktu pembengkakan eksplan setelah diinkubasi pada media berdasarkan perlakuan yang diberikan
No Perlakuan (mg/L) Waktu Pembengkakan (hst)
1 NAA 1,0 + BAP 0,5 9,00 ± 2,87
2 NAA 1,0 + BAP 1,0 8,67 ± 2,12
3 NAA 1,0 + BAP 1,5 8,56 ± 2,13
4 NAA 1,5 + BAP 0,5 8,22 ± 2,37
5 NAA 1,5 + BAP 1,0 8,33 ± 1,41
6 NAA 1,5 + BAP 1,5 7,89 ± 1,96
7 NAA 2,0 + BAP 0,5 8,11 ± 2,47
8 NAA 2,0 + BAP 1,0 8,33 ± 2,29
9 NAA 2,0 + BAP 1,5 8,44 ± 2,00

Hasil penelitian menunjukkan waktu pembengkakan eksplan tercepat berdasarkan perlakuan yang diberikan yaitu 7,89 hst (Tabel 4.2) terjadi pada eksplan yang dikulturkan pada media dengan penambahan kombinasi NAA 1,5 mg/L + BAP 1,5 mg/L. Pembengkakan yang terjadi pada eksplan merupakan suatu proses pertumbuhan awal dengan penyerapan nutrisi dari media yang selanjutnya disertai dengan tahapan proliferasi (perbanyakan sel). Proses ini diduga sangat erat kaitannya dengan kemampuan sel tumbuhan untuk mempertahankan strukturnya. Dinding sel dan plasmalemmanya sedikit demi sedikit mengembang (mengendur) melalui aktifitas metabolik, yang mengakibatkan air masuk ke dalam sel untuk mengisi celah kosong. Serat-serat selulosa penyusun dinding sel disintesis kembali melalui celah-celah yang terbentuk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Salisburry dan Ross (1995) dimana auksin dan sitokinin merupakan jenis hormon yang dapat meningkatkan pembengkakan dinding sel tumbuhan, kemudian menyebabkan masuknya air dan menimbulkan tekanan (turgor) serta mensintesis kembali serat-serat selulosa, sehingga sel yang telah membesar tidak dapat mengecil kembali dan terjadi pertumbuhan.

4.2 Waktu Munculnya Kalus
Analisis sidik ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa kombinasi auksin (NAA) dan sitokinin (BAP) berpengaruh nyata terhadap waktu munculnya kalus. Berdasarkan bagian eksplan yang digunakan (blok) menunjukkan adanya pengaruh sangat nyata terhadap waktu pembengkakan (pembesaran sel) eksplan (P < 0,01). Waktu yang dibutuhkan setiap eksplan terhadap pembentukan kalus juga berbeda antara eksplan akar, batang dan daun. Rata-rata waktu munculnya kalus pada tiap blok dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Rata-rata waktu munculnya kalus setelah diinkubasi pada media yang diperkaya dengan ZPT berdasarkan bagian eksplan yang digunakan
No Blok Waktu Munculnya Kalus (hst)
1 Akar 12,15a ± 2,27
2 Batang 12,52a ± 1,65
3 Daun 17,63b ± 2,34




Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan sangat nyata pada uji BNT taraf 1%, hst = hari setelah tanam.

Rata-rata waktu munculnya kalus pada eksplan akar dan batang yaitu 12,15 – 12,52 hst dan rata-rata waktu pembengkakan eksplan daun yaitu 17,63 hst. Ini menunjukkan bahwa waktu munculnya kalus pada eksplan akar dan batang berbeda sangat nyata terhadap waktu munculnya kalus pada eksplan daun.


Tabel 4.4 Rata-rata waktu munculnya kalus setelah diinkubasi pada media berdasarkan perlakuan yang diberikan
No Perlakuan (mg/L) Waktu Munculnya Kalus (hst)
1 NAA 1,0 + BAP 0,5 11,78a ± 3,11
2 NAA 1,0 + BAP 1,0 12,78a ± 2,82
3 NAA 1,0 + BAP 1,5 12,78a ± 2,86
4 NAA 1,5 + BAP 0,5 14,78a ± 2,54
5 NAA 1,5 + BAP 1,0 14,78ab ± 2,17
6 NAA 1,5 + BAP 1,5 15,22ab ± 2,11
7 NAA 2,0 + BAP 0,5 13,89ab ± 4,01
8 NAA 2,0 + BAP 1,0 14,33ab ± 4,61
9 NAA 2,0 + BAP 1,5 16,56b ± 2,92


Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata pada uji BNT taraf 1%, hst = hari setelah tanam.

Berdasarkan hasil penelitian, kombinasi auksin dan sitokinin pada beberapa konsentrasi menunjukkan pertumbuhan kalus yang optimal. Hasil penelitian berdasarkan perlakuan yang diberikan menunjukkan bahwa waktu pembentukan kalus tercepat yaitu 11,78 hst (Tabel 4.3) terjadi pada eksplan yang dikulturkan pada media dengan penambahan kombinasi NAA 1,0 mg/L + BAP 0,5 mg/L. Hal ini sesuai dengan pernyataan Campbell, et al. (2002) bahwa pemberian auksin saja tanpa sitokinin dalam kultur jaringan hanya menyebabkan sel-sel akan membesar tanpa proses pembelahan sel, sehingga tidak memberi pengaruh apapun. Namun, jika auksin dan sitokinin digunakan secara bersamaan, maka sel-sel akan membelah diri secara optimal. Ketika konsentrasi kedua zat pengatur tumbuh itu hampir sama, massa sel akan terus bertambah, namun yang tumbuh adalah kalus yang belum mengalami diferensiasi.
Pertumbuhan kalus diawali dari bagian pinggir eksplan dan dilanjutkan pada bagian luka yang bersentuhan langsung dengan media. Kalus yang tumbuh pada tiap perlakuan memiliki tekstur yang hampir sama dengan warna hijau. Menurut Santoso dan Nursandi (2002) disitasi oleh Hardiyanto, et al. (2004) warna hijau pada kalus yang pertama terbentuk disebabkan kalus masih membawa sifat asli eksplan.







Gambar 4.1 Bentuk kalus dari eksplan daun setelah 6 minggu penanaman pada media

Setiap eksplan membutuhkan waktu yang berbeda untuk terbentuknya kalus. Eksplan dari bagian daun membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan eksplan dari bagian organ yang lain namun memiliki ukuran kalus yang lebih besar (Gambar 4.1).











Gambar 4.2 Bentuk kalus dari eksplan akar setelah 6 minggu penanaman pada media

















Gambar 4.3 Bentuk kalus dari eksplan batang setelah 6 minggu penanaman pada media

Untuk keseluruhan proses pertumbuhannya, eksplan dari bagian akar dan batang menunjukkan waktu pembengkakan eksplan dan kemunculan kalus yang lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan eksplan dari bagian daun. Analisis sidik ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa pertumbuhan eksplan akar, batang dan daun berbeda sangat nyata (P < 0,01).


4.3 Berat basah akhir kalus
Berdasarkan hasil analisis data, berat basah akhir kalus pada setiap taraf perlakuan tidak berbeda nyata satu sama lain. Pertumbuhan kalus pada berbagai perlakuan memperlihatkan tingkat pertumbuhan yang berbeda. Beberapa kalus yang terbentuk mengalami pertumbuhan yang tidak maksimal, sehingga berat basah yang dihasilkan memiliki perbedaan. Eksplan dari bagian akar ukurannya sangat kecil, sehingga ketika terjadi pembentukan kalus ukurannya juga sangat kecil dan berat rata-ratanya jauh di bawah berat rata-rata kalus eksplan bagian organ yang lain. Rata-rata berat basah akhir kalus yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 4.5 dan Tabel 4.6.
Tabel 4.5 Rata-rata berat basah akhir kalus setelah diinkubasi pada media yang diperkaya dengan ZPT berdasarkan bagian eksplan yang digunakan
No Blok Berat Basah Akhir (Gram)
1 Akar 0,038 ± 0,06
2 Batang 0,313 ± 0,37
3 Daun 0,488 ± 0,54





Rata-rata berat basah akhir kalus yang didapatkan dari setiap eksplan berbeda, kalus dari bagian daun menunjukkan berat basah yang lebih besar dibandingkan dengan kalus dari eksplan akar dan batang. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa rata-rata berat basah akhir kalus tidak berbeda nyata untuk setiap eksplan yang digunakan.
Tabel 4.6 Rata-rata berat basah akhir kalus setelah diinkubasi pada media berdasarkan perlakuan yang diberikan
No Perlakuan (mg/L) Berat Basah Akhir (Gram)
1 NAA 1,0 + BAP 0,5 0,304 ± 0,37
2 NAA 1,0 + BAP 1,0 0,212 ± 0,30
3 NAA 1,0 + BAP 1,5 0,404 ± 0,63
4 NAA 1,5 + BAP 0,5 0,232 ± 0,38
5 NAA 1,5 + BAP 1,0 0,247 ± 0,34
6 NAA 1,5 + BAP 1,5 0,326 ± 0,54
7 NAA 2,0 + BAP 0,5 0,191 ± 0,35
8 NAA 2,0 + BAP 1,0 0,282 ± 0,48
9 NAA 2,0 + BAP 1,5 0,316 ± 0,53









Beberapa ulangan pada satu taraf perlakuan juga memperlihatkan pertumbuhan yang sangat berbeda satu sama lain sehingga memiliki berat basah yang sangat berbeda pula (Lampiran 10). Hal ini diduga karena kondisi fisiologi jaringan yang berbeda. Berat basah akhir kalus sangat dipengaruhi oleh proses pembengkakan sel dan pembelahan sel yang mengakibatkan terjadinya pertambahan ukuran eksplan serta munculnya kalus. Pembengkakan sel terjadi akibat adanya penyerapan air oleh sel yang dipengaruhi oleh auksin yang mengakibatkan dinding sel mengendur dan membesar, sehingga ukuran eksplan membesar dan terjadi pertambahan berat basah. Menurut Abidin (1983) auksin dapat meningkatkan proses penyerapan air oleh sel dikarenakan auksin dapat menaikkan tekanan osmotik, meningkatkan permeabilitas sel terhadap air, menyebabkan pengurangan tekanan pada dinding sel, meningkatkan sintesis protein, serta meningkatkan plastisitas dan pengembangan dinding sel. Menurut Lakitan (1996) setiap sel mempunyai kepekatan tersendiri terhadap zat pengatur tumbuh yang diberikan, selain itu waktu yang dibutuhkan setiap sel untuk melakukan pembelahan tidak sama, karena sel yang berbeda mungkin saja memiliki siklus sel yang berbeda.
Berdasarkan data yang diperoleh, kombinasi NAA 1,0 mg/L + BAP 1,5 mg/L memberikan hasil yang terbaik terhadap berat basah akhir kalus yang dihasilkan yaitu 0,404 g. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi inilah yang paling tepat untuk menginduksi kalus tanaman sernai (Wedelia biflora (L.) DC.).
Berdasarkan hasil yang telah didapatkan dari penelitian ini maka dapat dikatakan bahwa kombinasi NAA 1,0 mg/L dan BAP 1,5 mg/L memberikan hasil yang terbaik pada pertumbuhan kalus tumbuhan sernai, baik pada waktu munculnya kalus setelah hari tanam maupun pada berat basah akhir kalus yang dihasilkan yang dihitung dalam gram.






BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan :
1. Organ tumbuhan : akar, batang dan daun Wedelia biflora dapat digunakan sebagai eksplan untuk menghasilkan kalus pada kultur jaringan.
2. Kombinasi Auksin (NAA) dan Sitokinin (BAP) menunjukkan perbedaan tidak nyata terhadap waktu pembengkakan eksplan dan berat basah akhir kalus namun berpengaruh nyata terhadap waktu munculnya kalus.
3. Kombinasi NAA 1,0 mg/L dan BAP 1,5 mg/L memberikan hasil yang terbaik pada pertumbuhan kalus tumbuhan sernai, baik pada waktu munculnya kalus setelah hari tanam maupun pada berat basah akhir kalus yang dihasilkan yang dihitung dalam gram.

5.2 Saran
Diharapkan adanya pengujian lanjutan kombinasi yang tepat zat pengatur tumbuh (NAA dan BAP) terhadap pertumbuhan planlet tanaman sernai (Wedelia biflora (L.) DC.).

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 1983. Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat Penatur Tumbuh. Penerbit Angkasa, Bandung.

Adnan, A. Z. 1988. Tetumbuhan Sebagai Sumber Bahan Obat. Pusat Penelitian Universitas Andalas, Padang.

Anonimous. 2007. Informasi Spesies, Seruni Laut. http://www.proseanet.org/ rohati4/browser.php?docsid=179. Diakses tanggal 26 Januari 2008.

Campbell, N. A., J. B. Reece, dan L.G. Mitchell. 2002. Biologi edisi 5, jilid 2. Terjemahan dari Biologi 5th edition, oleh R. Lestari, E. I. M. Adil, N. Anita, Andri, W.F. Wibowo, W. Manulu. Erlangga. Jakarta.

Dzulkarnain. 2004. Tanaman Obat Malaria. Puslitbang Farmasi, Departemen Kesehatan R.I, Jakarta.

Gunawan, L.W. 1995. Tekhnik Kultur Invitro dalam Hortikultura. PT.Penebar Swadaya, Jakarta.

Hardiyanto, A., Solichatun dan W. Mudyantini. 2004. Pengaruh Variasi Konsentrasi Naftalen Asetat terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Flavonoid Kalus Daun Dewa (Gynura procumbens (Lour) Merr.). Biofarmasi. 2 (2): 69 – 74.

Heyne, K.1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan, Jakarta.

Huang, L. 1984. Drug Research Base Upon The Leads of The Chinese Trandisional Medicine. Beijing.

Katuuk, J. R. P. 1989. Teknik Kultur Jaringan dalam Mikropropagasi Tanaman. DEPDIKBUD, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Jakarta.

Kristio. 2007. Tanaman Obat Indonesia. http://www.kehati.or.id/prohati/ printer.php?photoid=179. Diakses tanggal 26 Januari 2008.

Lakitan, B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Miles, D.H. 1990. Cotton ball weevil antifedant activity and antifungal activity (Rhizoctonia and Phytium ultimum) of extract of steam of Wedelia biflora. Journal Agriculture and food chemistry. 39 : 1691-1694.

Nugroho, A dan H. Sugito. 2005. Pedoman Pelaksanaan Teknik Kultur Jaringan. Penebar Swadaya, Jakarta.

Pujowati dan Penny. 2006. Pengenalan Ragam Tanaman Lanskap Asteraceae (Compositae).http://www.freewebs.com/arl_ipb_2006/deskripsi/asteraceae.pdf. Diakses tanggal 26 Januari 2008.

Rahardja, P. C. 1995. Kultur Jaringan Dan Teknik Perbanyakan Tanaman Secara Modern. Cetakan VII. Penebar Swadaya, Jakarta.

Razali, N. 2001. Uji Aktivitas Antimikrobial Ekstrak Akar Tumbuhan Wedelia biflora Terhadap Kutu Beras (Calandra oryzae). Skripsi. FMIPA, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Rinidar. 2005. Pengaruh Pemberian Infusa Daun Sernai Terhadap Peradangan Akibat Reaksi Alergi. Laporan Penelitian Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan edisi IV Jilid III. Terjemahan dari Plant Physiology, oleh D. R. Lukman dan Sumaryono. Penerbit ITB, Bandung.

Sandra, E. 2000. Produksi dan Isolasi Metabolit Sekunder. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor

Sastrapradja, S., dan Y. N. Nagai. 1986. Indeks Tumbuh-tumbuhan di Indonesia. PT. Essai Indonesia.

Sunarno, B. 1992. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Herbarium Bogoriense. Puslitbang Biologi LIPI, Bogor.

Tjitrosoepomo, G. 1989. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Wahyuni. 1999. Uji bioaktif insektisida ekstrak batang tumbuhan Wedelia biflora terhadap kutu beras (Calandra oryzae). Skripsi. FMIPA, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Whetter, L. R dan F. Constabel. 1991. Metode Kultur Jaringan Tanaman. Edisi Kedua. Terjemahan dari Plant Tissue Culture Methodes 2nd Ed., oleh Mathilda B. Widianto. ITB, Bandung.

Zahara, M. 2007. Pengaruh kombinasi Naphtalene Acetic Acid (NAA) dan Benzyl Aminopurine (BAP) Pada Mikropropagasi Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.). Skripsi. FMIPA, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.


















ltu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar