Kamis, 16 September 2010

Daya Anti Bakteri

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Sejak zaman prasejarah manusia telah memanfaatkan ekstrak tumbuhan untuk mengobati berbagai penyakit. Pengetahuan ini telah diwariskan secara turun temurun berdasarkan adat kebiasaan semata. Sedangkan senyawa metabolik sekunder yang dihasilkan oleh tumbuhan tersebut masih sangat jarang diselidiki. Achmad (1986) menjelaskan bahwa senyawa metabolik sekunder yang dihasilkan oleh tumbuhan berguna untuk melindungi dirinya antara lain serangan mikroba dan organisme lain dalam melestarikan kelangsungan hidupnya. Produk metabolik sekunder yang telah ditemukan dalam tumbuhan antara lain terpenoid, steroid, alkaloid, fenol, flavonoid.
Menurut Achmad et al (1995) dari 250.000 jenis tumbuhan di seluruh dunia hanya 0,4% yang telah diselidiki kekayaan kimianya. Grainge dan Ahmed (1988) yang selama enam tahun melakukan penulusuran pustaka dan wawancara berhasil menghimpun data, bahwa sekitar 2.400 jenis tumbuhan mengandung racun terhadap penyakit dan parasit pada hewan. Salah satu diantaranya adalah tumbuhan Wedelia biflora.
Tumbuhan Wedelia biflora adalah salah satu spesies dari famili Asteraceae yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat tradisional. Seduhan akar dan batang tumbuhan ini digunakan untuk menyembuhkan penyakit keputihan dan gonorrhoe, sedangkan perasan dari batangnya yang masih muda untuk mengobati luka dan bisul. Air rebusan batang dan daunnya digunakan sebagai obat gatal-gatal juga untuk menurun panas dan diuretik (Heyne, 1987). Tumbuhan ini dalam bahasa sunda dan jawa dikenal dengan nama seruni yang tumbuh diseluruh Indonesia. Umumnya tumbuhan di daerah tepi pantai berpasir dan pinggiran hutan bakau (Kasahara dan Hemmi, 1986).
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Miles et al (1993) menunjukkan bahwa ekstrak metilen klorida dan batang pada tumbuhan W. biflora mempunyai aktivitas anti jamur terhadap Rhizoctonia soloni. Sementara itu dari hasil analisis klinik pada penelitian yang telah dilakukan oleh Murniana et al (1998) menunjukkan bahwa ekstrak nm-heksana dan methanol dari batang W. biflora mengandung komponen utama dari golongan terpenoid, sedangkan steroid hanya terdapat dalam ekstrak n-heksana batangnya.
Namun penelitian tentang senyawa bioaktif antimikrobial dari ekstrak n-heksana dan methanol batang tumbuhan W. biflora belum pernah diteliti. Berdasarkan hal tersebut maka pada penelitian ini dipelajari aktivitas mikrobial dari keempat ekstrak, yaitu ekstrak n-heksana dan ekstrak methanol menggunakan bioindikator Escherichia coli dan Sreptococcus aureus. Pemilihan kedua indikator tersebut didasarkan pada perbedaan jenisnya, yaitu E.coli untuk mewakili bakteri gram negatif, dan S. aureus mewakili bakteri gram positif.

2. Rumusan Masalah
Tumbuhan W. biflora selama ini banyak digunakan oleh masyarakat sebagai obat tradisional, antara lain seduhan akar dan batangnya untuk menyembuhkan penyakit keputihan dan gonorrhoe, serta perasan dari batangnya digunakan untuk mengobati bisul, luka dan gatal-gatal yang disebabkan oleh mikroba. Berdasarkan hal tersebut diduga batang, akar, daun dan biji dari tumbuhan W. biflora mengandung senyawa bioaktif yang mempunyai aktivitas antimikrobial terhadap mikroba seperti bakteri.

3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya hambat atau aktivitas anti microbial ekstrak n-heksana dan methanol dari batang, daun, akar, biji dan buah tumbuhan W. biflora terhadap bioindikator bakteri E. coli dan S. aureus.

4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai efek antimikrobial dari ekstrak batang, akar, daun, dan biji dari tumbuhan W. biflora terhadap mikroba, sehingga dapat melengkapi data ilmiah mengenai tumbuhan W. biflora, Selain itu juga diharapkan agar memanfaatkan W. biflora yang selama ini digunakan sebagai obat tradional dan masyarakat dapat ditingkatkan menjadi obat kelompok fitofarmaka.








BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Wedelia biflora
Wedelia biflora merupakan tanaman yang biasa ditemukan pada daerah belakang pantai dan sepanjang aliran pasang surut dan batas hutan bakau, dimana jenis ini dapat membentuk belukar yang sulit ditembus. Jenis ini juga umum di hutan sekunder, kebun yang ditinggalkan, perkebunan kelapa dan sawah yang belum ditanami. Penyebarannya mulai dari Afrika tropis ke arah timur ke India dan Indo-Cina sampai Jepang, dan ke arah selatan dari Malaysia ke Australia tropis dan Polinesia Barat (Kristio, 2007).

2.1.1 Morfologi Tumbuhan Wedelia biflora
Wedelia biflora merupakan tanaman terna atau liana, jarang sekali berupa pohon. Batang tanaman ini berbentuk bulat dan termasuk batang basah (herbaceous). Mempunyai panjang 1-3 m. Posisi batangnya merayap di atas permukaan tanah, pada setiap ruas batangnya dapat tumbuh akar (Kristio, 2007). Batang dari tanaman ini juga memiliki kulit seperti perdu berserat, dibawah kulit batang terdapat lapisan kulit berkayu dan dalam kayu itu ada empulur yang kering dan berwarna putih (Heyne, 1987). Tanaman ini termasuk dalam tanaman dikotil sehingga sistem perakarannya adalah tunggang. Salah satu keunikan dari tanaman ini ialah akar dapat tumbuh pada ruas-ruas batangnya. Hal ini disebabkan karena tanaman ini tumbuh dengan merayap di atas permukaan tanah.








Gambar 2.1 Morfologi Wedelia biflora

Tanaman ini termasuk tanaman yang berdaun tidak lengkap, sebab hanya memiliki tangkai daun dan helaian daun saja (tidak memiliki pelepah/upih daun).
Daunnya berwarna hijau cerah mengkilap, sedikit atau banyak memiliki rambut daun, tunggal, kadang-kadang terbagi sangat dalam hingga menyerupai daun majemuk, duduk daun berhadapan, jarang tersebar, kebanyakan tanpa daun penumpu, panjang 1,5-6 cm, Tanaman ini memiliki daging daun yang tipis dan lunak (herbaceous), dengan tepi daun yang bergerigi (serratus). Dilihat dari toreh pada tepi daun dan susunan tulang-tulang daunnya, tanaman ini dapat dikategorikan tanaman dengan daun berlekuk menyirip (pinnatilobus). Bangun daunnya sendiri adalah obovate / obovatus (bulat telur sungsang), namun beberapa jenis ada yang berbentuk oval (ovatus), dengan ujung daunnya runcing (acutus), (Tjitrosoepomo,1989).
Bunganya berwarna kuning cerah, mirip seperti bunga matahari (hanya ukurannya lebih kecil), (Sastrapradja et al). Tergolong dalam bunga majemuk dengan bentuk cawan (anthodium) dan memiliki banyak simetri (actinomorf). Dasar bunga kecil bersama, terdapat sisik jerami. Bunga tepi 5 – 8, berkelamin tunggal atau banci, tabung pendek, pita memanjang, ujung melekuk ke dalam, lebar. Letak bunga di ujung tangkai, bentuk mahkota bunga tidak saling berlekatan (polypetalus). Simetri bunga tidak tentu tabung kepala sari hitam atau coklat tua. Tangkai putik dengan dua cabang bentuk benang, panjang. Panjang ibu tangkai bunganya (pedunculus) 3-10 cm (.Pujowati & Penny, 2006).
Seperti bunga cawan lazimnya, didapati dua macam bunga, yaitu :
1. Bunga pita (flos ligulatus), bunga mandul yang terdapat di sepanjang tepi cawan dan mempunyai mahkota berbentuk pita.
2. Bunga tabung (flos disci), bunga yang terdapat di atas cawannya sendiri, umumnya berbentuk tabung.
Termasuk ke dalam golongan buah kurung (achenium), dinding buahnya tipis, berdampingan dengan kulit biji tetapi tidak berlekatan, dan mempunyai panjang 4-5. Bijinya bulat telur, kecil, hitam (Kristio, !987)

2.1.2 Taksonomi Tumbuhan Wedelia biflora
Tumbuhan Wedelia biflora termasuk ke dalam familia Asteraceae. Di Indonesia terdapat berbagai jenis tanaman wedelia, antara lain Wedelia trilobita, Wedelia montana, Wedelia calendulacea Less., Wedelia chinensis (Osbeck) Merr., dan Wedelia biflora (L.) DC (Pujowati & Penny 2006).


Tanaman Wedelia biflora dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kerajaan : Plantae
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub-kelas : Asteridae
Suku : Asterales
Familia : Asteraceae
Marga : Wedelia
Spesies :Wedelia biflora (L.)DC (Anonymous, 2007)

2.1.3 Kegunaan Tumbuhan Wedelia biflora
Tumbuhan Wedelia biflora banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan, diantaranya sebagai obat, campuran obat mampu untuk makanan. Seduhan akar dari tumbuhan ini dapat menyembuhkan penyakit keputihan dan gonorrhoe. Bahan ini juga dicampur dengan minyak sebagai obat batu karang. Kulit luar yang terkikis dari batang dimasak dengan minyak kelapa yang segar yang dapat digunakan sebagai obat luka. Pucuk yang dari batang yang masih hijau digunakan untuk menyembuhkan luka-luka kecil di daging dan untuk bisul. Batang dan daun setelah dengan air dapat diminum untuk menurunkan panas sakit demam. Orang Cina dan orang Jawa mencuci diri dengan rebusan bahan ini sebagai obat gatal. Daun mentah yang muda berwarna kuning sering dilalap dengan ikan untuk digunakan para nelayan sebagai bahan makanan (Heyne,1987).
2.2 Kandungan Senyawa Kimia
2.2.1 Tinjauan Senyawa Anti Mikrobial
Senyawa anti mikrobial adalah suatu substansi kimia yang dapat diperoleh dari beberapa spesies mikroorganisme dan tumbuhan. Komponen senyawa antimikrobial tersebut pada konsentrasi rendah mampu menghambat atau mengganggu pertumbuhan mikroba pada konsentrasi tinggi dapat membunuh mikroba (Pelczar & Chan, 1988).
Mekanisme kerja senyawa anti mikrobial secara umum dapat menghambat atau membunuh mikroorganisme dengan beberapa cara yaitu dengan merusak dinding sel , merubah permeabilitas sel serta menghambat kerja enzim sehingga metabolisme sel terganggu atau matinya sel, serta menghambat sintesis asam nukleat dan protein (Pardiaz, 1989).
Senyawa antimikrobial yang diperoleh dapat berupa minyak atsiri dan senyawa-senyawa metabolik sekunder yang terkandung dalam tumbuhan Wedelia biflora : Terpenoid, steroid, alkaloid dan flavonoid. Keadaan yang mempengaruhi kerja anti mikrobial ialah konsentrasi zat-zat antimikrobial, jumlah mikroorganisme, suhu dan spesies (Pelczar & Chan, 1988).
Pada tahun 1966 Wiliam Karby dan Alfred Bauer menggunakan cakram kertas untuk menentukan keampuhan atau daya kerja suatu antimikrobial . Cakram kertas tersebut diletakkan pada lempeng agar yang telah disemai dengan mikroorganisme selama 24-48 jam. Penghambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh senyawa antimikrobial dapat terlihat sebagai wilayah jenis di sekitar cakram yang mengandung bahan antimikrobial. Luasnya wilayah jernih merupakan penunjuk keberadaan mikroorganisme terhadap senyawa antimikrobial (Lay,1994).
2.2 Bioindikator
Bioindikator merupakan bahan dan media yang digunakan untuk mendeteksi adanya aktivitas senyawa tertentu. Sehingga nantinya dapat ditentukan senyawa apa yang dapat peka terhadap zat uji tersebut. Bioindikator biasanya dapat berupa serangga atau mikroba yang penting yang harus dibiakkan pada kondisi apapun dan mudah diperoleh jenis homogen (Tjokronegoro, 1987).
Bakteri merupakan salah satu bioindikator yang sering digunakan dalam uji antimikrobial. Selain bakteri, bioindikator yang banyak digunakan adalah jamur. Jamur biasa lebih besar dari bakteri, dapat multisel atau unisel dan mempunyai filamen panjang yang disebut hifa. Beberap jamur dapat menyebabkan penyakit pada manusia.
2.3.1 Escherichia coli
Escherichia coli merupakan anggota famili Enterobacteriaceae. Famili ini berbentuk basil, bergerak dengan flagel yang peritrik atau tidak bergerak, gram negatif dan menguraikan glukosa menjadi gas. E. coli terkenal sebagai penghuni kolon (usus tebal) sehingga sering terdapat dalam feses. E. coli dapat tumbuh dalam lingkungan dengan ataupun tanpa oksigen (anaerob fakultatif).
Escherichia coli dapat tumbuh baik pada suhu antara 80C sampai 460C. Bakteri E. coli tiap 20 menit mengadakan divisio. Jika faktor-faktor luar seperti medium, kebebasan, pH dan temperatur cukup baik mendukung pertumbuhannya.
Escherichia coli merupakan bagian dari flora normal saluran pencernaan yang mampu menyebabkan gastroenteritis (peradangan selaput lendir perut dan usus) baik dalam taraf sedang maupun sampai yang parah pada manusia. Meskipun E. coli merupakan organisme indikator yang dipakai di dalam analisis air untuk menguji adanya pencemaran oleh tinja, tetapi penyebarannya tidak melalui air, melainkan melalui kegiatan tangan ke mulut atau dengan pemindahan pasif lewat makanan atau minuman (Pelczar dan Chan, 1988). Adapun morfologi bakteri E. coli secara umum dapat dilihat pada Gambar. 2.2







Gambar 2.2 Morfologi Escherichia coli

2.3.2 Staphylococcus aureus
Staphylococcus merupakan anggota famili micrococcaceae. Staphylococcus adalah suatu bakteri berbentuk bola (coccus) dengan diameter 0,5-1,5 µm, yang dapat dilihat dengan mikroskop berupa pasangan-pasangan, rantai pendek, bergerombol atau terlihat seperti kumpulan buah anggur, terdapat pada kulit dan lapisan lendir. Organisme ini merupakan gram positif. Kelompok untaian berwarna kuning kuning keemasan. Beberapa strain mampu memproduksi sekumpulan protein toksin (beracun) pada suhu tinggi yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Staphylococcus ini sering ditemukan sebagai bakteri flora normal pada kulit dan selaput lendir manusia.
Jenis-jenis Staphylococcus laboratorium dapat tumbuh secara optimum pada suhu 350 C. Pertumbuhan terbaik dan khas ialah pada suasana aerob. Bakteri ini bersifat anaerob fakultatif dan dapat tumbuh dalam udara yang mengandung hidrogen eda pH optimum untuk pertumbuhan adalah 7,4. Staphylococcus aureus termasuk jenis bakteri yang paling kuat daya tahannya. Pada agar miring tetap hidup sampai berbulan-bulan pada lemari es maupun suhu kamar.
Staphylococcus aureus dapat menyebabkan keracunan makanan. Kondisi ini dinamakan Staphyloenteroksemia. Hal ini disebabkan oleh enterotoksin yang diproduksi oleh strain S. aureus. Dosis infektif dari toksin tersebut sekitar 1 µg dalam makanan yang terkontaminasi akamn memperlihatkan tanda intoksikasi oleh Staphylococcus (Jawetz, 1986). Gambaran umum bakteri S. aureus setelah pewarnaan yang dilihat menggunakan mikroskop terdapat pada gambar 2.3








Gambar 2.3 Morfologi Staphylococcus aureus





2.3 Media Mikrobiologis

Media biakan yang murni untuk menumbuhkan mikroba terdapat dalam bentuk padat. Semi-padat dan cair. Media padat diperoleh dengan menambahkan agar. Agar yang berasal dari ganggang merah yang digunakan sebagai bahan pemadat dalam media adalah 1,5-2 %. Dalam pembuatan media biakan diperlukan nutrient sebagai bahan makanan yang sesuai juga kondisi fisik yang memungkinkan seperti suhu, atmosfer gas, pH, oksigen dan tekanan yang optimum untuk pertumbuhan (Lay,1994). Kebutuhan gizi lainnya adalah mineral yang digunakan untuk aktivitas kuman, kebutuhan gas, dan kelembaban karena bakteri memerlukan air untuk pertumbuhannya (Gupte,1989).
Media biakan yang disiapkan harus disterilkan terlebih dahulu sebelum digunakan untuk membiakkan mikroorganisme. Bila media biakan yang dipersiapkan ini tidak disterilkan dan dibiarkan selama beberapa menit, Mikroorganisme pencemaran akan tumbuh dan menyebabkan kekeruhan media. Proses sterilisasi berguna untuk membunuh dan menghilangkan semua mikroorganisme pencemar yang terdapat dalam biakan. Setelah disterilkan media biakan siap dipakai (Lay,1994).
Media biakan untuk biakan biasanya menggunakan Mueller-Hinton Agar (MHA). Adapun kandungan dari MHA adalah pepton (6 g), kasein (17,5 g), pati (1,5 g) dan agar (10 g). Semua kandungan tersebut dilarutkan dalam 1 liter air. Saboround Dextrose Agar (SDA) banyak digunakan sebagai media biakan untuk jamur.

2.4 Ekstraksi
Metode isolasi yang umumnya digunakan adalah ekstraksi dan kromatografi,. Ekstraksi merupakan suatu teknik pemisahan yang biasa digunakan untuik memperoleh produk organik yang diinginkan. Selektivitas antara pelarut didalam pelarut lainnya yang berbeda kepolarannya dalam melarutkan senyawa organik akan membentuk dua lapisan yang saling memisah, dimana proses ini berdasarkan distribusi sampel dua pelarut tersebut (Khopkar, 1990).
Menurut Suryono (1989) ekstraksi adalah pemisahan suatu zat atau proses pengambilan suatu senyawa baik dalam bentuk larutan maupun campuran dengan menggunakan pelarut-pelarut yang sesuai. Pelarut yang sering dipakai pada ekstraksi adalah etanol, metanol, aseton, kloroform, dietil eter, petroleum eter, benzen dan karbon tetraklorida. Pelarut yang baik harus memiliki kemapuan melarutkan dengan baik titik didihnya rendah tidak bereaksi dengan zat yang akan bereaksi dengan zat yang akan diekstraksi tidak berbahaya dan mudah diperoleh sebab keberhasilan suatu ekstraksi sangat ditentukan oleh pelarut yang digunakan.
Ekstraksi komponen kimia dari bahan dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain dengan maserasi (Perendaman). Metode ini sangat mudah vdan sederhana . Teknik maserasi ini digunakan terutama jika kandungan senyawa organik yang ada dalam tumbuhan mempunyai kadar yang cukup tinggi. Pelarut yang digunakan untuk melarutkan senyawa organik tersebut dalam keadaan dingin. Ekstraksi total dari sampel tumbuhan yang telah diekstraksi dapat diperoleh dengan cara pemekatan yang menggunakan alat Vacuum rotary evaporator (Harbone,1987).

2.4 Analisis Kimia dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Ekstrak n-heksana akar, daun, batang, dan biji Wedelia biflora dilarutkan dalam pelarut n-heksana. Kemudian larutan ekstrak tersebut diKLT menggunakan plat silica gel sebagai fase diam dan pelarut n-heksana-etil asetat dengan perbadingan yang bervariasi (gradien elusi) sebagai fase gerak. Ekstrak metanolnya dilarutkan dalam etil asetat. Kemudian bagian yang larut dalam etil asetat di KLT menggunakan fase diam plat silica gel dan fase gerak kloroform-metanol dengan perbadingan yang bervariasi (gradient elusi). Selanjutnya bila kedua kromatogram yang diperoleh tidak kelihatan maka disemprotkan dengan reagen. Kenampak noda seric sulfat (Ce (SO4)2). Kemudian kedua kromatogram tersebut dipanaskan dalam oven pada suhu 100-105oc selama lebih kurang 5 menit.

2.5 Profil Fitokimia
Uji fitokimia merupakan langkah awal dalam uji terhadap suatu jenis tumbuhan. Jenis substituen metabolik sekunder yang diuji sebagai tahapan uji fotokimia yang akan membantu memberiakan arahan yang tepat bagi langkah selanjutnya seperti alkaloid, flavanoid, fenol, terpenoid dan steroid.
Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang banyak ditemukan di alam, hampir alkaloid berasal dari semua jenis tumbuhan. Semua alkaloid mengandung paling sedikit satu buah atom N yang bersifat basa, juga semua alkalid yang ditemukan di alam. Hampir semua alkaloid yang ditemukan di alam mempunyai keaktifan fisiologi tertentu, ada yang sangat beracun dan ada juga yang berguna untuk obat-obatan. Alkaloid dapat ditemukan dalam bagian tumbuhan seperti biji, daun, ranting dan kulit kayu (Achmad, 1986).
Beberapa cara untuk mendeteksi alkaloid dalam jaringan tumbuhan telah dilakukan. Ada cara khas yang digunakan oleh hultin dan torassell (1965) untuk menjaring 200 suku tumbuhan swedia. Mereka melakukan ekstraksi pendahuluan 4 gram jaringan kering setiap cuplikan dengan ammonium hidroksida pekat, kemudian diekstraksi kloroform etanol. Ekstrak kemudian diuji akan adanya alkaloid dengan menggunakan pereaksi Wagner, Dragendorf dan pereaksi Mayer. Adanya alkaloid hanya dicatat bila ketiga pereaksi itu semuanya memberikan reaksi positif.
Golongan flavonoid dapat digambarkan sebagai deretan senyawa C6-C3-C6 artinya. Kerangka karbonnya terdiri atas duan gugus C6 (cincin benzena tersubstitusi) disambungkan oleh rantai alifatik tiga karbon. Kelas-kelas yang berlainan dalam golongan ini dibedakan berdasarkan cincin heterosiklik oksigen tambahan dan gugus hidroksil yang tersebar menurut pola yang berlainan (Robinson, 1995). Identifikasi senyawa flavonoid dapat dilakukan dengan senyawa pereaksi Sianidin-Wilsater atau disebut juga dengan pereaksi Shinoda, dilakukan dengan cara melarutkan hasil isolasi dalam etanol kemudian ditambahkan serbuk magnesium dan asam klorida pekat tetes demi tetes. Di sini timbul berbagai warna yang tergantung pada jenis senyawanya. Warna jingga sampai merah menunjukkan adanya senyawa flavon, merah sampai merah tua adalah senyawa flavonol atau flavanon dan warna hijau atau biru diberikan oleh aglikon dan glikosida.
Cara klasik untuk mendeteksi senyawa fenol sederhana adalah dengan menambahkan larutan besi (III) klorida 1% dalam air atau etanol kepada larutan cuplikan, sehingga menimbulkan warna hijau, merah, ungu, atau hitam yang kuat. Cara ini di modifikasikan dengan menggunakan campuran segar larutan besi (III) klorida 1 % dalam air dan kalium heksasianoferrat (III) 1 % masih digunakan sebagai cara untuk mendeteksi senyawa fenol pada kertas kromotogram berdasarkan warnanya atau flouresensinya dibawah lampu UV, warnanya diperkuat atau berubah bila diuapi ammonia. Pigmen fenolik berwarna dan warnanya ini dapat terlihat selama proses isolasi dan pemurnian (Harbone, 1987).
Terpenoid adalah suatu senyawa kimia yang terdiri dari beberapa unit isoprena, mempunyai struktur siklik dengan saru atau lebih gugus fungsional berupa gugus hidroksil dan gugus karbonil. Senyawa-senyawa terpenoid digolongkan berdasarkan jumlah unit isoprena yang membangun molekulnya, misalnya, monoterpena mengandung dua unit isoprena, diterpena mengandung empat unit isoprene dan seskuiterpena mengandung tiga unit isoprena. Senyawa ini dapat larut dalam lemak dan terdapat dalam sitoplasma.
Kumarin atau benzopiran -2-on adalah senyawa fenol yang pada umumnya berasal dari tumbuhan tingkat tinggi dan jarang sekali ditemukan pada mikroorganisme (Achmad, 1986). Hampir semua kumarin alam mempunyai oksigen (hidroksil atau alkoksil) pada atom C-7, kumarin sering dijumpai sebagai glikosida (Robinson, 1991). Kumarin biasanya terdapat pada rerumputan serta tumbuhan makanan ternak, dan biasa dikenal sebagai bahan atsiri berbau wangi yang dilepaskan oleh jerami yang baru dibabat (Harborne, 1987).
Kuinon merupakan senyawa berwarna dan mempunyaikromofor dasar seperti pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Warna pigmenkuinon alam beragam, mulai dari kuning pucat sampai hitam. Pigmen kuinon sering terdapat dalam kulit, galih atau akar, atau dalam jaringan lain (misalnya daun), Tetapi pada jaringan tersebut warnanya tertutupi pigmen lain (Harborne, 1987).
Senyawa golongan saponin merupakan senyawa glikosida. Sifat khas dari saponin, yaitu apabila dikocok dengan air, maka dapat menimbulkan busa. Sifat lain dari saponin ini dapat menimbulkan terjadinya hemolisis terhadap butir darah merah hewan. Kedua sifat ini biasanya dipergunakan untuk identifikasi saponin yaitu diisolasi dari bahan alam. Saponin pada umunya bersa pahit, larut dalam pelarut organik, seperti etanol dan kloroform.







BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian Jurusan Kimia FMIPA dan Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi FMIPA universitas Syiah Kuala Banda Aceh yang dilaksanakan mulai bulan Agustus 2008- November 2008.

3.2. Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah akar, batang, daun, dan biji dari tumbuhan W. biflora yang telah di kultur di Laboratorium Kultur Jaringan Jurusan Biologi FMIPA Universitas Syiah Kuala.

3.3. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini rotary evaporator, erlenmenyer, gelas kimia, inkubator, autoklaf, neraca analitik digital, cawan petri, pipet klinik, pinset, kawat ose, test plate, seperangkat alat kromatografi lapis tipis, seperangkat alatkromatografi cair vakum, seperangkat alat kromatografi flash, serta alat-alat gelas lain.
Bahan-bahan yang digunakan adalah metanol teknis, kloroform teknis, aseton p-a, silika gel GF254, silika gel G 60, plat KLT GF254, vanilin sulfat, media MHA, Nacl fisiologis, aquadest, kapas lidi steril, kertas saring Whatman 1 dan pereaksi-pereaksi untuk uji fitokimia.

3.4 Bioindikator
Bioindikator yang digunakan adalah bakteri Escherichia coli, dan Staphylococcus aureus diperoleh dari Laboratorium Kesehatan, Banda Aceh.

3.5 Prosedur Kerja
3.5.1 Preparasi Sampel dan Pelarut
Akar, batang, daun, dan biji tumbuhan W. biflora yang masih segar dikeringkan selama 1 hari di udara terbuka kemudian akar, batang, dan daun dipotong-potong dan ditimbang untuk dimaserasi. Pelarut metanol dan kloroform yang digunakan merupakan pelarut teknis sehingga harus ditestilasi.
3.5.2 Ekstraksi dan Partisi
Tumbuhan W. biflora yang sudah dikering-anginkan ditimbang sebanyak 200 gram masing- masing untuk akar, batang, daun, dan biji. Sampel yang telah dikering dimaserasi dengan pelarut metanol selama 1x24 jam, kemudian disaring dan diulangi sampai ekstrak yang diperoleh benar-benar jernih. Ekstrak metanol yang diperoleh kemudian di evaporasi dengan menggunakan alat rotary evaporator untuk mendapatkan ekstrak metanol murni. Selanjutnya sebanyak 20 gram ekstrak metanol untuk masing-masing bagian tumbuhan di partisi dengan etil asetat dan air dengan perbandingan 1:1, sampel terpisah menjadi dua bagian yaitu bagian yang terlarut dalam etil asetat dan sampel yang tidak larut dalam etil asetat (fase air), sampel yang larut dalam etil asetat di rotari evaporasi sehingga diperoleh ekstrak etil asetat, kemudian bagian yang tidak larut dalam etil asetat dilanjutkan lagi dengan penambahan pelarut n- heksana dengan perbandingan yang sama kemudian di rotari evaporasi sampai diperoleh ekstrak n- heksana.
3.5.3 Pemisahan Senyawa Antibakteri
Ekstrak metanol yang diperoleh dianalisis secara kromatografi lapis tipis dengan cara menotolkan sampel di atas plat di atas silika gel GF254 untuk menentukan eluen yang sesuai untuk pemisahan. Dari berbagai perbandingan pelarut diperoleh hasil pemisahan yang baik dengan pelarut metanol : Kloroform (6:4). Noda yang diperoleh dideteksi dengan larutan penampak noda vanili sulfat.
Selanjutnya dilakukan pemisahan komponen-komponen ekstrak metanol dengan kromatografi cair vakum menggunakan fase diam silika gel G 60, GF524 dan fase gerak yang digunakan adalah metanol : kloroform (6:4, 7:3, 8:2, 9:1) dan metanol (100%). Fasa diam sebanyak 150 g dimasukkan ke kolom vakum, kemudian divakumkan. Setelah fasa diam padat (tidak ada celah) dimasukkan pelarut metanol 7 g digerus dengan batu gerus hingga homogen dengan silika gel kemudian diatas fasa diam dimasukkan ekstrak metanol yang telah digerus. Kemudian ekstrak metanol dielusi dengan pelarut yang menggunakan sistem gradien elusi. Masing-masing eluat ditampung dalam wadah terpisah (100 ml/fraksi). Fraksi-fraksi tersebut dianalisa jumlah komponennya dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Fraksi yang mempunyai pola nada dan harga Rf yang sama digabung dan dipekatkan hingga hingga pelarut menguap . Hasil dari gabungan fraksi-fraksi tersebut digunakan untuk uji antibakteri.


3.5.4 Preparasi Larutan uji
Fraksi-fraksi gabungan hasil KCV masing-masing dilarutkan dalam metanol dengan konsentrasi sebagai berikut : 100%, 50%, 25%,10%, 5 %, 1% (b/v).
3,5.5 Uji Antibakteri
Pengujian dilakukan dengan metode Kirby-Bauer menggunakan cakram. Media yang digunakan Mueller-Hinton Agar (MHA) sebanyak 40 gram dilarutkan dalam 1 liter digunakan aquadest, kemudian disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 1210 selama 15 menit. Tiap cawan petri diisi dengan media sebanyak 20 ml dan dibiarkan beberapa saat hingga memadat. Pada media padat disebarkan suspensi bakteri yang sesuai dengan standar Mc Farland 0,5 secara merata dengan menggunakan kapas lidi steril. Cakram diisi dengan larutan uji yang telah disiapkan sebanyak 20 µL menggunakan pipet klinik. Untuk satu set percobaan dimasukkan 2 cakram, yaitu kontrol positif (kloramfeniko, 30 µg) dan kontrol negatif. Cakram yang berisi larutan uji, kontrol positif dan negatif diletakkan pada area yang berbeda dalam media tumbuh bakteri. Inkubasi dilakukan pada suhu 370 selama 24 jam. Pertumbuhan bakteri diamati untuk setiap area. Bila zona hambatan belum tampak, dibiarkan 24 jam lagi. Zona hambatan yang diukur dengan penggaris dalam milimeter.
3.5.6 Pemisahan dengan Kromatografi Flash dan Pemurnian
Senyawa aktif hasil uji antibakteri dipisahkan dengan kromatografi tekan menggunakan fase diam silika gel G 60 dengan pelarut metanol kloroform (5,8 : 4,2) sebanyak 400 ml. Fraksi-fraksi yang diperoleh dianalisis dengan kromatografi lapis tipis. Fraksi-fraksi dengan harga Rr yang sama digabung, kemudian direkristalisasi berulang-ulang dengan sistem pelarut metanol-kloroform. Selanjutnya dianalisis secara kimia menggunakan reagen fitokimia.
3.5.7 Uji Fitokimia
a. Uji Alkaloid
Ekstrak metanol, fraksi-fraksi hasil KCV dan kromatografi tekan masing-masing ditambahkan sedikit CHCL3 dan 10 ml larutan NH3. Campuran dikocok selama 1 menit, kemudian, disaring kedalam tabung reaksi. Filtrat ditambahkan 4-5 ml H2SO4 pekat, kemudian dikocok dengan teratur, dibiarkan sampai terbentuk dua lapisan. Lapisan atas (Fasa air) dipindahkan kedalam tabung reaksi, kemudian diuji dengan pereaksi Mayer, Draenrdorff, dan Weagner. Adanya alkaloid ditunjukkan merah jingga dengan pereaksi Dragendorff dan endapan cokelat dengan pereaksi Wagner.
b. Uji terpenoid, steroid, fenol
Ekstrak metanol, fraksi-fraksi hasil KCV dan kromatografi tekan masing-masing dimasukkan ke dalam test plate, ditambahkan pereaksi Liebermand-Buchard (Campuran CH3COOH anhindrat 3 tetes dengan H2SO4 pekat 1 tetes), diamati. Bila berwarna kehijauan positif adanya steroid dan bila berwarna jingga atau ungu positif adanya terpenoid.
c. Uji Flavonoid
Ekstrak metanol, fraksi-fraksi hasil KCV dan kromatografi tekan masing-masing ditambahkan etanol, kemudian dipanaskan selama 15 menit. Selanjutnya diuapkan pelarutnya sampai tinggal sedikit dan ditambahkan Hal pekat dan 0,2 g serbuk Mg, bila timbul warna merah positif adanya flavonoid..
d. Uji Saponin
Ekstrak metanol , fraksi-fraksi hasil KCV dan kromatografi tekan masing-masing ditambahkan sedikit air kemudian dididihkan selama 2-3 menit dan didinginkan lalu dikocok, dilihat busa atau tidak. Bila terbentuk busa yang stabil selama 30 menit positif adanya saponin.
e. Uji Kumarin
Ekstrak metanom hasil KCV dan kromatografi tekan masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan diberi pelarut kloroform atau metanol, ditutup dengan kertas saring (kertas saring jenuh dengan NaOH, kemudian kertas saring dilihat dengan lampu UV, bila terjadi flouresensi positif adanya kumarin.












DAFTAR PUSTAKA
Achmad, S,.A., E.H. Hakim, Lia D, J., L, Makmur, Sofiati K dan Yana M.S., 1995, Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani, Yogyakarta
Achmad, S.a., 1986, Buku MateriPokok Kimia Organik Bahan Alam, Universitas Terbuka, Duepdikbud, Jakarta.
Activiti and Antifungal Activiti (Rhizoctonia Salani And Phytium Ultimum) of Extracts of The Stems of Wedelia biflora, Journal Agriculturural And Food Chemistry, Vol.39.
Anonymous, 2007. Informasi Spesies, Seruni Laut. http://www.proseanet.org/prohati4/browser.php?docsid=179
Harbone J.B.,1987, Metode Fitokimia (Terjemahan Kosasih Padnawinata dan Iwang Soediro), ITB, Bandung.
Heyne, K., 1987, Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid III. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta.
Khopkar ,S . M., 1990, ,Konsep Dasar Kimia Analitik, UI –Press, Jakarta
Kristio,2007. Tanaman Obat Indonesia. http://www.kehati.or.id/prohati/printer.php?photoid=179. Diakses tanggal 26 Januari 2008.
Lay, B.W., 1994, Analisis Mikroba Dilaboratorium , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Miles, D.h., C. Vallapa ,and mp . Allen, 1990. Cotton Boll Weevil Antifreedant
Murniana, Kartini H., dan MP Bahi. 1998, Uji Bioaktif Insektisida Ekstrak Tumbuhan Wedelia biflora terhadap Kutu Beras (Calandra oryzae), Laporan Penelitian Biaya Rutin. Lembaga Penelitian Unsyiah, Banda Aceh.
Pelczar, M.J.Jr dan Chan E.C.S., 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi, Universitas Press, Jakarta
Pujowati dan Penny, 2006. Pengenalan Ragam Tanaman Lanskap Asteraceae (Compositae).http://www.freewebs.com/arl_ipb_2006/deskripsi/asteraceae.p df. Diakses tanggal 26 Januari 2008
Tjitrosoepomo, G. 1989. Taksonomi Tanaman (Spermatophyta). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Tjokronegoro, R. K., 1987, Penelusuran Sentyawa Kandungan Tumbuhan Indonesia Terhadap Serangga, Desertasi Universitas Padjajaran, Bandung.


ANALISA KANDUNGAN FITOKIMIA DAN UJI AKTIVITAS
ANTI BAKTERI EKSTRAK KALUS TUMBUHAN
SERNAI(Wedelia biflora) (L) DC


Proposal Skripsi


Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan
Memenuhi syarat-syarat guna memperoleh
gelar sarjana sains



Oleh :


AFNIDAR
NIM. 0481410009
















JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM – BANDA ACEH
2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar